Notice: Undefined index: act in /var/www/html/fhukum/media.php on line 18
Fakultas Hukum Untag Surabaya

TOMY MICHAEL - KETIKA HUKUM DAN EGO POLITIK JADI SATU

Selasa, 20 Maret 2018 - 14:05:51 WIB
Dibaca: 573 kali

Bisakah hukum dan ego politik menjadi satu. Tomy Michael menjawabnya dalam Surabaya Pagi edisi 20 Maret 2018

Presiden Jokowi menolak menandatangani Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah (UU No. 2-2018) dan menimbulkan pro kontra dalam masyarakat. Dalam tataran ilmu hukum, yang dilakukan Presiden tepat karena dalam Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12-2011) termaktub bahwa “Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”. Ketepatan yang dilakukan untuk Presiden dengan argumen agar masyarakat melakukan uji materiil UU No. 2-2018 kepada Mahkamah Konstitusi sebetulnya cara halus agar masyarakat betul-betul aktif menjaga proses legislasi di Indonesia dan kritik terhadap DPR. Tindakan tersebut sebelumnya juga termaktub dalam Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945.

Kemudian yang menjadi pertanyaan besar yaitu apakah Presiden benar-benar menyerahkannya kepada hukum yang berlaku atau hanya sebatas bentuk jaga diri terhadap berbagai kemungkinan? Menjawab keruwetan ini haruslah dengan kepala dingin. Soeharto era dulu pernah menolak Rancangan Undang-Undang Penyiaran dan memberi perintah kepada DPR untuk dibahas lagi. Cara yang dilakukan Soeharto apabila dikaitkan dengan pemikiran Mikhail Bakunin disebut sebagai “sarjana dan siswa yang abadi”. Tanpa memperhatikan apa hak yang dimiliki oleh dirinya sendiri maka masyarakat telah mengabaikan pemikiran, kehendak dan kepentingannya sendiri. Masyarakat tidak akan mampu melawan kehendak pemimpin dan memang begitulah norma hukum yang terjadi pada era UUD 1945.

Berikutnya ketika membaca Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU No. 17-2003) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU No. 18-2003) tidak akan menemukan tulisan Megawati Soekarnoputri. Ia juga tidak menandatangani undang-undangnya namun kedua undang-undang ini berjalan hingga saat ini disamping dua undang-undang lainnya. Hanya saja dalam era Presiden Megawati Soekarnoputri, presidensial telah dijalankan dengan baik sejak perubahan 2002 terakhir. Negara Indonesia semakin menuju kebaruan dalam praktik ketatanegaraan. Berkembang selanjutnya ke era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dimana ia menyetujui suatu undang-undang, mengesahkannya kemudian beberapa waktu kemudian mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Cara yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menurut saya cenderung mengarah pada bentuk pemerintahan timokrasi dimana kemasyhuran adalah faktor utama. Seharusnya sebagai Presiden bisa mengambil keputusan tanpa berusaha menyenangkan beberapa pihak terlebih dahulu. Seharusnya bertindak tegas dengan kedudukannya. Menolak sepenuh hati atau menerima senang hati.

Terakhir yaitu Presiden Jokowi, dimana ketika masih pada tingkatan rancangan sebetulnya telah ada komunikasi berkelanjutan antara Presiden dan DPR. Tentu saja kesemuanya tidak dapat berdiri sendiri-sendiri walaupun kita menganut pemisahan kekuasaan Montesquieu tidak murni karena di dalam pemisahan kekuasaan terdapat pembagian kekuasaan. Di dalam proses ini Presiden tidak bertindak sebagai kepala eksekutif murni melainkan campuran karena Presiden berperan dalam rancangan tersebut dan barulah ketika penandatanganan tersebut disebut sebagai kepala eksekutif murni. Tanpa ditandatanganipun, Jokowi adalah kepala eksekutif.

Kembali pada alasan Presiden Jokowi agar masyarakat melakukan uji ke MK sebetulnya lebih baik daripada mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Karena ketika Presiden Jokowi mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang maka bentuk pemerintahan tirani dalam hal legislasi. Hanya dari seluruh cara yang dimaksud, alasan yang paling masuk akal yaitu Presiden Jokowi tidak melakukan tandatangan karena sedang sakit keras atau memang sedang ada tugas yang amat sangat penting di luar negeri. Dibalik itu semua, penolakan terhadap suatu rancangan undang-undang adalah hak artifisial dari seorang Presiden. Ia dapat menolak tandatangan namun beberapa hari kemudian akan sah dan ia juga dapat mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang seketika itu juga. Mudah-mudahan pemerintah sebagai lingkaran sahabat terdekat presiden tetap bisa menjalin komunikasi dengan DPR terkait pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia karena jika hal demikian terulang lagi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka negara akan menjadi kacau. Seperti gabungan pemikiran Thomas Hobbes dan kesatuan masyarakat republik yang modern yaitu “the modern state was born, it has been said, out of the unstated alliance between Leviathan and Oceana”. Selebihnya kita sebagai masyarakat sudah harus aktif mengkritik pemerintah dengan cara tidak nyinyir semata.


Untag Surabaya || Fakultas Hukum Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya