Notice: Undefined index: act in /var/www/html/fhukum/media.php on line 18
Fakultas Hukum Untag Surabaya

GEBYAH-UYAH DAN POPULISME

Senin, 05 November 2018 - 11:28:20 WIB
Dibaca: 347 kali

Tulisan karya Tomy Michael dimuat dalam Media Indonesia 5 November 2018.

Ketika suatu negara terbentuk karena ingin dunia yang damai, itu hal absurd. Pemikiran yang diutarakan Immanuel Kant tersebut sepertinya tidak relevan diandaikan terjadi di Indonesia saat ini. Tidak relevannya karena muncul persepsi dari masyarakat yang gebyah-uyah pada provokator. Provokator dalam tulisan ini bukanlah se seorang yang berteriak-teriak di tengah. Kerusuhan agar massa semakin beringas, tetapi ia ialah seorang yang mencintai populisme. Ketika populisme mengakomodasi keinginan diri seseorang yang merupakan tokoh publik, maka mengarah pada provokasi. Tokoh publik sering menegasikan makna demokrasi dalam dirinya meskipun aristokrasi ialah yang terbaik menurut filsuf-filsuf kuno. Kemudian dengan ‘wibawa’ yang sebetulnya ialah keinginan kelompok tertentu, maka populisme pada akhirnya memecah belah berbagai golongan masyarakat. Contohnya saja Duterte, yang bertindak liar dengan kebijakan antinarkobanya. Di satu sisi, tindakannya membuat pihak pembenci narkoba bertepuk tangan. Namun, bagaimanakah kelompok masyarakat yang menjadi pengedar narkoba dengan berbagai alasan sosialnya? Duterte tidak peduli dan ia tetap berjalan sesuai kehendaknya. Contoh kedua yaitu ketika Donald Trump dalam kampanyenya mengatakan kelompok muslim dilarang masuk Amerika. Janji yang begitu mencekam itu terbukti membawa mereka ke puncak pimpinan suatu negara. Ketika mereka terpilih, siapakah yang salah? Bisa masyarakat, bisa tokoh publik tersebut, atau memang itulah puncak dari suatu keinginan banyak orang. Apabila populisme ala Duterte dan Trump diterapkan di Indonesia dalam hal menyampaikan pendapat, negara pun bisa runtuh. Mungkin negara akan kuat jika tokoh publik betul-betul menyadari atas apa yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang keluar harus dapat menyatukan rakyat. Artinya, kebaikan bersama ialah hal utamanya. Analoginya, sebagai yang mengakui demokrasi di Indonesia, tetapi cara-cara bertindaknya yang tidak demokratis mendapat legitimasi dari negara. Hal demikian ialah paradoksnya.Sebagai penutup, apakah populisme menghasilkan provokator atau provokator menggerakkan populisme? Saya akan memberi kata ya. Populisme hanya menghasilkan provokator karena tidak adanya pemikiran reflektif pada dirinya. Namun, jika jawaban ya tersebut dikaitkan dengan Pasal 33 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, cara terampuh mencegah provokasi pemecah bangsa ialah pasal tersebut. Jadi, adakalanya negara wajib mencampuri urusan yang sangat pribadi sekali atas rakyatnya karena dengan demikian negara itu hadir.


Untag Surabaya || Fakultas Hukum Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya