Notice: Undefined index: act in /var/www/html/fhukum/media.php on line 18
Fakultas Hukum Untag Surabaya

MAHKAMAH KONSTITUSI BUKAN TUHAN

Rabu, 12 Juni 2019 - 16:32:15 WIB
Dibaca: 342 kali

Tulisan milik Tomy Michael dalam Media Indonesia 12 Juni 2019.

Sungguh setelah pemilu maka tugas yang terberat adalah Hakim Konstitusi dari Mahkamah Konstitusi (MK) karena mereka yang berjumlah sembilan orang harus benar-benar bersikap independen. Sikap independen ini juga sebetulnya dipengaruhi dari kelompok manakah mereka memperoleh dukungan (perhatikan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945). Apakah menyerahkan permasalahan perselisihan tentang hasil pemilu kepada MK adalah tindakan yang tepat? Sangat amat tepat karena MK adalah jalur terakhir dan apabila ada yang ingin menolaknya maka bisa dengan constitutional question. Bagi saya sendiri, constitutional question masih jarang dilakukan karena tidak seluruh kasus dapat dilakukan proses tersebut. Walaupun telah tertuang dalam Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tetapi constitutional question jika ingin diterapkan dalam perselisihan tentang hasil pemilu maka mengubah UUD NRI Tahun 1945 harus dilakukan.

Kembali ke pokok permasalahan terkait keraguan kinerja MK maka pertanyaan kedua yang muncul adalah seberapa jujurkah MK memberikan putusannya? Jawabannya kembali akan tujuan hukum apakah yang dicari melalui MK? Keadilan hukum, kepastian hukum, kemanfaatan hukum atau keekonomisan hukum? Tentu saja jika bersandar pada pemikiran hukum saat ini yaitu keekonomisan hukum maka mediasi adalah cara terbaik dimana sesuatunya bisa terselesaikan dengan win-win solution. Tetapi mediasi bisa dilangkahi di suatu waktu karena banyak faktor. Menurut Tom Bingham (favorit penulis) dikatakan bahwa An assessment of the facts may of course be necessary and will depend on the effect made by the evidence on the mind of the decision-maker dan hal itulah yang harus dipahami ketika menyerahkannya kepada MK. Penyerahan ke MK tidak sebagai luapan kekecewaan melainkan itu adalah hak konstitusi dari setiap warga negara.

Dalam kasus ini, pemahaman akan hakikat MK mutlak diperlukan. MK tidak boleh dipandang sebagai untaian benang kusut karena ia akan mengurainya. Dengan demikian, pihak siapapun akan menyerahkan jalannya peradilan kepada MK pasti bahagia. MK memang bukan Tuhan yang bisa memberikan kepuasan hati tetapi jika kita tidak mengganggap mereka adalah wakil Tuhan maka sia-sialah adanya perubahan UUD NRI 1945 sejak tahun 1999.

Banyak hal yang akan dicapai bangsa ketika menyerahkan pokok permasalahan kepada MK antara lain mengajarkan bahwa segala sesuatu harus diselesaikan sesuai norma hukum (perhatikan juga eksistensi Mahkamah Agung), penerimaan akan putusan MK adalah bentuk tanggung jawab terbesar sebagai subjek hukum dan keberlangsungan pemerintahan tetap ada karena terkait kemaslahatan orang banyak.

Sebagai penutup, saya membaca tulisan berjudul Natural Law and the Human City karya Russel Hittinger bahwa “Wherever a plurality of rational agents seek through their united action a common good, and whenever there is a plurality of valid means for achieving the end, there will be need for binding directives of a general rather kind, obligating the group to follow this means rather than another one”, atas pemahaman demikian maka mengikuti segala sesuatu pada akhirnya akan membawa kebaikan juga hanya kebaikan itu apakah sekadar diikuti karena kesadarannya sendiri atau ada kuasa yang lebih tinggi diatasnya. Jadi yang saya inginkan sebetulnya penormaan ketika hasil resmi pemilu diumumkan yaitu kewajiban mengucapkan salam kepada pihak pemenang atau sedikit memodifikasi Pasal 33 undang-undang perkawinan ke dalam undang-undang pemilu. Itu satu-satunya pasal yang menurut saya membuat dunia bisa berdamai.


Untag Surabaya || Fakultas Hukum Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya