MEMAKNAI KEADILAN HUKUM DI ERA KECERDASAN BUATAN Karya Dosen FH Untag Surabaya Dr. Tomy Michael
Selasa, 27 Juni 2023 - 13:10:06 WIBDibaca: 282 kali
Karya Dosen FH Untag Surabaya Dr. Tomy Michael, S.H., M.H., yang terbit di Media Indonesia 27 Juni 2023
MEMAKNAI KEADILAN HUKUM DI ERA KECERDASAN BUATAN
Era kecerdasan buatan atau artificial intelligence akhir-akhir ini menjadi hal yang menarik banyak orang. Mengutip Cornell Law School, kecerdasan buatan diartikan sebagai penggunaan teknologi pembelajaran mesin, perangkat lunak, otomasi, dan algoritme untuk melakukan tugas dan/atau prediksi berdasarkan kumpulan data dan instruksi yang ada). Segala hal telah dijamah termasuk dunia hukum yang identik dengan moral. Sebetulnya hal ini tidak mengagetkan karena sejak lama juga ada bantuan google ataupun pengelompokan referensi otomatis yang sudah lama digunakan dalam pemecahan studi kasus. Pertanyaan yang penting yaitu sejauh manakah kecerdasan buatan mengambil alih untuk menghasilkan keadilan hukum?
Pada dasarnya, keadilan dan keadilan hukum merupakan hal yang berbeda. Keadilan identik dengan kesetaraan yang memiliki implikasi akan hak-hak seseorang. Sedangkan keadilan hukum merupakan keadilan yang identik dengan menerapkan norma hukum. Keadilan hukum cenderung diikuti dengan pemikiran tokoh-tokoh populer. Sayamngnya keadilan dan keadilan hukum tidak bisa diberikan definisi yang tidak menimbulkan penolakan karena tiap orang memiliki kemampuan menganalisa adil menurut dirinya. Adil bagi diri sendiri belum tentu adil bagi orang lain.
Keadilan hukum, kemanfaatan hukum dan kepastian hukum ibarat satu tujuan yang seolah-olah tidak bisa diubah urutannya. Padahal jika menelusuri pemikiran Gustav Radbruch membicarakan tujuan hukum yang utama harus menemukan validitas hukum. Ketika seluruhnya valid maka apapun yang dikehendaki bisa tercapai.
Seluruh teori filsuf kuno yang sering dipakai untuk memaknai keadilan hukum antara lain milik Platon, Aristoteles, Thomas Aquinas, Ibnu Khaldun selalu dirasa kurang memadai. Pada akhirnya, peleburan teori menjadi hal lumrah. Peleburan ini sejatinya adalah kecerdasan buatan alami yang banyak dilakukan peneliti hukum karena berusaha meyakinkan orang lain agar pikiran akan dirinya diterima.
Permasalahan hukum selalu muncul dan wajib diselesaikan mendekati kenyataan. Kasus kecerdasan buatan yang menarik yaitu ketika Hakim Castel kebingungan akan analisa yang diberikan oleh Schwartz untuk pembelaannya sebelum terungkap. Seorang hakim mengatakan pengadilan dihadapkan pada "keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya" setelah pengajuan ditemukan untuk merujuk contoh kasus hukum yang tidak ada. Andaikata kasus tersebut menghasilkan putusan maka keadilan hukum yang diperoleh adalah keadilan hukum yang sesuai. Bukankah dalam memutuskan dalam ruang sidang bertanggung jawab kepada Tuhan? Tetapi keputusan tersebut tidak disertai moral karena ada unsur kecerdasan buatan didalamnya. Keputusan akan menjadi dilema karena ketiadaan referensi akan menjadikan segala usaha dilakukan.
Definisi dari frasa “segala usaha dilakukan” adalah salah satu cara memperoleh keadilan juga. Tentu melihat ini akan mengubah paradigma bahwa segala sesuatu ada jalan keluarnya. Kecerdasan buatan dalam ilmu hukum tidak boleh ditolak karena hukum alam menjadikan manusia akan selalu mencari cara untuk sesuatunya lebih mudah. Apabila melihat penjelasan dalam suatu undang-undang yang mencantumkan “cukup jelas” maka itu adalah bagian dari kecerdasan buatan. Seseorang ketika tidak puas akan mencari makna “cukup jelas” dengan menggunakan seluruh daya pikirnya. Frasa “cukup jelas” merupakan bagian dari kecerdasan buatan yang diberikan negara karena untuk mengetahuinya secara baik tidak hanya dibaca tetapi ada usaha untuk mencapainya. Banyak cara untuk bisa memahaminya seperti melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, membaca literatur, melakukan pencarian data dengan literatur terkait, menelusuri naskah akademiknya hingga cara yang seolah tidak akademis seperti melalui mimpi. Apa yang dilakukan juga dapat dikatakan sebagai upaya mencapai keadilan hukum.
Kembali lagi pada kecerdasan buatan maka ketika diperintah membuat naskah gugatan dengan tema tertentu maka akan terjawab. Kecerdasan buatan itu harus kita olah lagi dengan kecerdasan milik diri sendiri agar keadilan hukum itu tidak sekadar memberikan makna salah atau benar tanpa mempertimbangkan moral didalamnya. Belum masuk usia lima tahun namun kecerdasan buatan semakin meningkat dalam memberikan jalan keluar. Ada pertentangan ketika seseorang tidak bisa melakukan apa yang dikehendaki kemudian menggunakan kecerdasan buatan maka itu adalah hak yang tidak bisa dikurangi. Kecerdasan buatan adalah keadilan yang tercipta dari ketidakadilan. Segala hal dapat diselesaikan hanya dengan menyampaikan perintah tanpa perlu ada verifikasi oleh lembaga tertentu. Kecerdasan buatan tidak boleh dilarang namun dibatasi untuk mengetahui untuk siapa dan teleologinya bagaimana. Negara harus mempersiapkan dengan perdebatan untuk menyelesaikan permasalahan ketika kecerdasan buatan yang diproduksi oleh entitas tertentu.
Persaingan akan semakin menarik karena kecerdasan buatan sangat mengenal negara Indonesia dengan segala isinya sedangkan kita sebagai manusia emiliki kemampuan asli yang terbatas. Agar tidak terjebak dalam apakah boleh atau tidaknya kecerdasan buatan maka dibutuhkan penyebarluasan akan pentingnya moral. Terlihat superior jika menyuruh ilmu hukum sebagai pionir dalam menyikapi kecerdasan buatan. Namun itu tersampaikan karena ilmu hukumlah yang penulis geluti. Moral yang masif akan menghasilkan keadilan hukum yang alami dan keadilan hukum gabungan dengan kecerdasan buatan. Seperti mi goreng dicampur dengan kuah, ada yang menerimanya dan ada yang menolak.
Untag Surabaya || Fakultas Hukum Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya