Notice: Undefined index: act in /var/www/html/fhukum/media.php on line 18
Fakultas Hukum Untag Surabaya

GANTI PRESIDEN, SEGAMPANG ITUKAH? DAN DUTA MASYARAKAT 3 MEI 2018

Kamis, 03 Mei 2018 - 14:51:59 WIB
Dibaca: 417 kali

Tulisan Tomy Michael berjudul Ganti Presiden, Segampang Itukah? dimuat dalam Harian Duta Masyarakat 3 Mei 2018

Berita kaos #2019gantipresiden harusnya disikapi dengan cara yang unik. Ketika kaos bertuliskan #2019gantipresiden diperjualbelikan secara bebas maka apakah perbuatan tersebut dilarang? Seharusnya tidak dilarang karena itu adalah ekspresi kebebasan mereka di negara demokrasi. Tetapi kebebasan berkaos tersebut menjadi dilarang ketika terjadi persekusi terhadap seorang ibu dan anak. Kaos mampu menimbulkan perpecahan di antara masyarakat padahal negara melingkupinya.

Saya berpikir andaikata Jokowi mengajukan pengunduran diri karena kaos ini maka hakikat negara itu akan lenyap. Negara Indonesia adalah negara hukum seperti yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 akan berubah menjadi negara kekuasaan. Apakah memberhentikan presiden cukup dengan kaos saja? Jika tujuannya sekadar memobilisasi massa untuk menunjukkan eksistensinya maka itu adalah bagian dari sikap kampanye yang kreatif. Kemudian jika tujuan lainnya hanya terkait pengalihan isu maka apakah tidak ada lagi isu kebaikan yang harus diangkat?

Sebetulnya masifnya berita ganti presiden melalui kaos #2019gantipresiden adalah penistaan terhadap ilmu hukum. Di dalam Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945, memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden membutuhkan banyak proses. Melibatkan banyak lembaga antara lain DPR, DPD, MPR, MK dan MA. Didalam tulisan ini menggunakan frasa “antara lain” karena lembaga negara apabila mengacu pemikiran Hans Kelsen sangatlah banyak jenisnya. Anda membaca tulisan ini dan melakukan kekerasan dengan melempar kendaraan saya dengan batu sehingga saya melapor ke polisi maka Anda dapat disebut sebagai lembaga negara.

Sulitnya memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden secara normatif di Indonesia adalah wujud dari checks and balances di masing-masing kekuasaan. Pengetatan ini ingin menjaga negara dari keadaaan ribut dan bubar. Negara harus tetap ada sekalipun dalam keadaan kacau, itulah teleologi negara yang sebenarnya. Bandingkan juga dengan pemikiran Mao Tse Tung yang mengajurkan penghilangan kebudayaan demi kebaikannya negaranya. Dengan demikian, tiap-tiap kekuasaan tidak boleh bertindak atas nama kepentingan sendiri atau partai politik. Tiga kekuasaan harus tetap bersatu untuk menjaga presiden dan/atau wakil presiden lima tahun mendatang. Kekuasaan eksekutif tidak boleh melebihi kekuasaan legislatif, kekuasaan yudisial tidak boleh melebihi kekuasaan eksekutif ataupun kekuasaan legislatif tidak boleh melebihi kekuasaan yudisial.

Kemudian ketika fokus ganti presiden hanya pada kaos #2019gantipresiden tanpa mempedulikan kaos kotak-kotak maka calon pemimpin masih belum matang dalam berpolitik. Cukup tergelitik juga ketika Jokowi berujar “masak kaos bisa ganti presiden?”. Sebetulnya Jokowi tidak perlu melakukan pembalasan demikian karena pembalasan demikian adalah buruk dalam bernegara. Siapapun seharusnya dirangkul tanpa memperhatikan untung ruginya. Saya membandingkan dengan lontaran kebencian yang dilakukan warga Amerika Serikat terhadap Donald Trumph. Presiden nyentrik itu hampir selalu dicaci maki dengan berbagai media seperti meme bahkan ucapan makian tetapi dia tetap santai. Ia hanya membenci media yang dianggapnya menebarkan berita bohong dan kebenciannya dilontarkan melalui twitter.

Jika kaos #2019gantipresiden tetap bergulir maka Jokowi tetap saja menjalankan tugasnya sebagai kepala eksekutif dan pihak kepolisian menyelesaikan persekusi didalamnya. Hal yang dapat dilakukan Jokowi dalam menghadapi kaos ini yaitu dengan tidak menghadapinya dan berusaha untuk menjadi pemimpin yang arete. Sesuatu dikatakan memiliki arete apabila melaksanakan fungsi secara tepat. Secara tegas, arete ditafsirkan Haryanto Cahyadi dalam tafsiran buku Paideia sebagai sebuah pisau yang memiliki keunggulan sejauh menunjukkan daya kemampuan untuk meraih fungsi utamanya misalnya mengiris sekerat daging atau merajang sayur. Sebaliknya jika pisau itu tumpul, ia kehilangan aretenya untuk meriah fungsi secara tepat. Ketika terjadi pembiaran dalam kasus kaos #2019gantipresiden maka disitulah pendewasaan mental pemimpin diuji. Memang harus diakui masalah kaos tidak seberat dengan kasus Munir tetapi gerakan kaos #2019gantipresiden adalah lumrah dalam negara hukum.

Mengacu pada pemikiran kaum filsuf pun, bentuk pemerintahan terbaik masih aristokrasi karena kebijaksanaan pemimpin dibutuhkan dalam suatu negara. Kebijaksanaan dianggap mampu mengatasi beragamnya masyarakat sehingga setiap penyelesaian permasalahan dilakukan dengan baik walaupun kebaikan tersebut bisa berubah menjadi kemasyhuran. Disinilah letak kelemahan negara ketika dipimpin oleh kaum bijaksana. Sebagai jalan keluar terbaik ketika menginginkan seorang presiden dan/atau wakil presiden untuk dimakzulkan dari jabatannya yaitu segera mendaftar menjadi anggota MPR, anggota MK dan anggota MA karena hanya didalam ketiga lembaga negara itulah kunci utamanya. Sedangkan cara ekstrimnya yaitu dengan melakukan kudeta atau kerusuhan secara besar-besaran. Cara terakhir adalah cara efektif untuk menurunkan seseorang akibat kebencian yang membuncah.

Saya tidak membela kaos #2019gantipresiden atau kaos kotak-kotak karena kaos berukuran XL adalah favorit. Setidaknya sejak Jokowi menjadi presiden, kelas hukum tata negara yang saya ampu selalu penuh diskusi kritis dari para mahasiswa. #gantipresidenitususah.


Untag Surabaya || Fakultas Hukum Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya